Cari Blog Ini

Senin, 21 Maret 2011

Bom Eksentrik

Jakarta - Eksentrik! Negeri ini seringkali mengalami kejadian-kejadian aneh. Keanehan yang juga lucu karena terkesan seperti drama ludruk. Ada pemain utama, pemain pengganti, dan sutradara yang berkuasa memainkan drama. Khalayak pun bertanya-tanya, ada apa gerangan? Padahal ini nyata, meski terindikasi rekayasa dan penuh misteri.

Bali 20 Oktober 2002, Duarrr! "petasan raksasa" meledak di Paddy’s Bar dan Sari Club. Efeknya terdengar sampai radius puluhan kilometer, jaring-jaring bangunan berterbangan ke udara hingga lima puluhan meter tingginya.

Amrozi Cs terpilih menjadi pemain utama dalam lakon ini. Namun ada yang aneh, unik bin ajib, ternyata bom itu memiliki daya ledak bak nuklir, mustahil dibuat oleh Amrozi Cs.

Seorang ahli eksplosif asal Inggris, Mark Ribband menyebut jika bom itu seperti berjenis C-4 yang berdaya powerfull. Ia bertutur "Bom C-4 diproduksi oleh beberapa negara, sedangkan produsen utamanya adalah AS dan Israel". Jenderal Ryamizard Riyacudu (mantan KSAD) pernah mengatakan: "Saya yakin bahwa bom yang meledak di Bali adalah buatan luar negeri, dan bukan buatan orang Indonesia".

Disusul Bom Bali 2, tahun 2005. Ini pun juga banyak kejanggalan, diantaranya ialah adanya peringatan dini sebelum pengemboman, beberapa orang turis Australia mengaku diberi informasi untuk menjauhi dari pusat kawasan Kuta karena akan nada ledakan.

Kejanggalan lain, adanya rekaman video yang cukup detail menggambarkan peristiwa tersebut, pihak pelaku terekam dari pertama ia duduk sampai bom meledak, arah kamera terus mengikuti gerak pelaku. Video ini pun datangnya dari Australia.

Demikian halnya dengan kejadian-kejadian bom lainnya di berbagai tempat di Indonesia. Hingga yang terakhir, peristiwa menghebohkan saat ini berupa bom buku. Bom yang diletakkan di dalam buku, dengan skala ledak kecil.

Menyibak keanehan-keanehan tersebut, maka sangat wajar bilamana banyak pengamat menyimpulkan bahwa kejadian-kejadian teror tersebut hanyalah rekayasa belaka. Sebuah konspirasi tingkat tinggi dengan berbagai motifnya.

Konspirasi bisa pula bermakna persekongkolan. Di Oxford Advanced Learner's Dictionary pada 1995, konspirasi memiliki arti "sebuah rencana rahasia oleh sekelompok orang untuk melakukan sesuatu yang ilegal atau merugikan". Bisa ditambahkan "untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu". Pertanyaannya, apa saja motif tersebut?

1. Alasan Memerangi Teroris

Kampanye perang melawan teroris digalakkan oleh AS sejak tagedi WTC yang menewaskan ribuan orang. Inilih alasan utama AS gencar memerangi pihak yang menurutnya teroris, alias teroris dalam definisi AS itu sendiri. Seiring waktu berjalan, berhembus bahwa G Bush (Mantan Presiden AS) berada dibalik pengeboman WTC tersebut.

Logika lurusnya, jika hendak memerangi teroris, maka sudah barang tentu harus ada tindakan teror ditempat tersebut. Jika tidak ada tindakan teror, berarti tidak ada alasan untuk melawan teroris. Maka harus ada atau diadakan. Minimal harus ada pihak yang di-image-kan teroris.

Di samping itu Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mendapat kucuran dana dari asing untuk memerangi teroris. Dibuat pula sebuah detasemen khusus yang menangani terorisme yakni Densus 88.

Lembaga ini menurut mantan ketua YLBHI, Munarman, berdasarkan dokumen Human Right Watch tentang Counter Terorism yang dilakukan AS, pembentukan Den 88 di Indonesia pada tahun 2002 tersebut didanai AS sebesar 16 juta dollar dan sebelumnya pada tahun 2001 Polri telah menerima dana untuk penanganan terorisme sebesar 10 juta dollar.

Menurutnya, data ini konkret, diambil dari dokumen sekunder, dokumen primer, dan juga dokumen dari Departemen Pertahanan AS tentang counter terorism budget (eramuslim.com06/06/07). Artinya jika ingin dana terus mengucur, maka dia harus tetap bekerja "tak bekerja tak mendapat gaji". Jika tidak ada peristiwa teror atau penangkapan diduga teroris, berartii seperti tak bekerja.

2. Pengalihan Isu

Acapkali muncul isu terorisme adalah saat di mana opini yang berkembang sedang dalam posisi mengancam kekuasaan dan juga sekitar kekuasaan. Selanjutnya opini tersebut hilang seperti ditelan bumi dikarenakan tertutup oleh isu terorisme.

Berapa kasus krusial tertutup oleh isu terorisme ini, sebagai contoh: protes atas kasus kebijakan kenaikan BBM, Rekening gendut, skandal Century, penjualan aset nagara semacam Krakatau steel. Terbaru adalah heboh pemberitaan Koran The Age dan Sidney Morning tentang presiden RI, serta kasus-kasus yang lainnya.

Tak heran bilamana ketua PP Muhammadiyah kepada republika (17/3) menyatakan bahwa fenomena bom buku memiliki indikasi kuat merupakan bentuk pengalihan isu dan perhatian masyarakat dari masalah-masalah strategis yang hingga kini tak terselesaikan.

3. Menyerang Ideologi Islam

Peristiwa terorisme seringkali selalu dikait-kaitkan dengan ideologi Islam. Presiden SBY menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan negara Islam. Menurut SBY, pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Hal ini disampaikan pada keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah sebelum berkunjung ke Singapura dan Malaysia, bulan Mei tahun lalu.

Mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri ketika mengomentari kasus "terorisme Aceh" beberapa waktu yang lalu mengatakan "Itu sudah direncanakan ada percepatan negara demokrasi menjadi negara syariat Islam". Dalam kasus ini masyarakat juga tahu, banyak kejanggalan pada kasus Aceh ini.

Lalu dikembangkan pula opini bahwasannya ideologi Islam mengancam eksistensi bangsa dan berbahaya bagi pluralitas bangsa. Padahal selama ini yang telah mengancam kedaulatan bangsa adalah sistem Kapitalisme.

Terbukti Indonesia menjadi terjajah secara politik, ekonomi, sosial dan budaya karena sistem ini. Timor Timur lepas juga akibat sistem ini karena tidak meratanya kesejahteraan rakyat.

4. Kampanye Islam Moderat

Kasus terorisme juga menjadi jalan tol kampanye Islam moderat. Muslim yang menginginkan menerapkan Islam secara kaffah diberi stigma Islam garis keras, fundamentalis dan ekstrimis, bahkan ada yang di tuduh teroris (pemberian stigma teroris). Kemudian muncul istilah deradikalisasi, bahasa halus mensekulerkan Muslim di Indonesia. Maka umat Islam perlu waspada.

Sungguh, Islam bukanlah teroris, Islam juga tidak sependapat dengan tindakan teror. Zionis Israel dan Amerika beserta sekutunya lah yang teroris sebenarnya, sebab nyata-nyata telah melakukan pembantaian terhadap rakyat sipil di negara-negara Timur Tengah dan lainnya.

Ideologi Islam juga bukan ancaman, justru Ideologi Islamlah yang bisa menjamin Indonesia menuju negara maju dan sejahtera. Ingatlah, rakyat sudah cukup cerdas. Wallahu a'lam.

Soal Terorisme, Pemerintah Harus Jujur

Jakarta - Wartawan kawakan Australia yang pernah bertugas di Indonesia, David Jenkins, dalam bukunya yang berjudul 'Soeharto & Barisan Jenderal Orba', mengupas sebuah fakta adanya pihak intelijen di balik aksi Komando Jihad. Komando Jihad diciptakan dengan tujuan untuk mendiskreditkan umat Islam.

Disebutkan dalam buku itu, bila paham akan seluk beluk Dinas Intelijen Indonesia serta filosofi kelompok elite sekitar Soeharto, percaya bahwa sangat mungkin Komando Jihad diciptakan sebagai taktik menghadapi Pemilu 1977. Komando Jihad dijadikan sarana bagi Kopkamtib untuk menangkap dan menindak politisi-politisi Islam saat itu.

Lebih lanjut dalam buku itu disebut, pada tahun 1978 Mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir menyatakan bahwa Pemimpin Komando Jihad Ismail Pranoto, yang dijatuhi hukuman seumur hidup pada September 1979, sebenarnya 'seorang agen provokator yang didalangi Ali Murtopo.'

Berdasarkan pengalaman dan teori intelijen tersebut kita bisa membaca mengapa saat-saat ini marak ancaman teror bom dengan menggunakan metode mengirim lewat bingkisan (buku). Teror bom lewat kiriman sebuah bungkusan yang pertama kali dialamatkan kepada Ulil Abshar Abdalla itu menyebar ke berbagai tempat dan daerah. Tidak hanya yang dirasa oleh para musuh teroris, namun orang yang tidak mengerti apa-apa pun juga mendapat kiriman.

Mendapat sebaran ancaman teror, tentu membuat polisi, Densus 88, dan Gegana pun dibuat sibuk. Dan dari sekian ancaman tersebut, polisi mampu menjinakan bingkisan yang dicurigai sebagai bom itu. Akibat dari maraknya teror bom buku itu, masyarakat menjadi was-was, akhirnya fokus perhatian yang sebelumnya ditujukan kepada masalah bocoran Wikileaks, beralih ke masalah ancaman terorisme.

Belajar dari apa yang dikupas oleh Jenkins dalam bukunya, menjadi pertanyaan, mengapa jika Densus 88 berhasil mengungkap pelaku terorisme di Indonesia dengan sukses, namun kejadian itu terus berulang. Benarkah rantai terorisme sangat panjang sehingga teroris tetap survive sehingga eksistensi mereka tetap ada dan bebas berkelana? Mengapa terorisme tidak bisa diberantas sampai ke akar-akarnya? Ataukah kelompok terorisme itu diada-adakan?

Peristiwa terorisme di Indonesia kalau diselusuri, mempunyai rantai kejadian yang panjang dan berskala besar, seperti Bom Bali I, Bom Hotel JW Marriots I dan II, Bom Ritz Carlton serta Bom Kedubes Australia. Aksi-aksi terorisme itu setara dengan Bom Madrid, Spanyol, dan aksi terorisme di sebuah hotel di Mumbai, India. Meski berskala besar dan terjadi secara ajeg atau periodik, namun polisi mampu mengungkap dan menangkap pelaku-pelakunya. Penggerebekan pun dilakukan secara terus menerus, sehingga kita saksikan Densus melakukan operasinya di Temanggung dan Wonosobo, Pamulang, Ciputat, Aceh, dan berbagai tempat lainnya.

Bila teroris mampu terus mengembangkan jaringannya, berarti teroris lebih pintar daripada Densus. Teroris lebih pintar daripada aparat, itu bisa jadi, namun bisa jadi masalah terorisme di Indonesia diselesaikan secara tidak tuntas dan dibiarkan menggantung dan akan dimainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
 
Bila Komando Jihad diciptakan untuk mendiskreditkan ummat Islam dan menangkap politisi Islam. Maka terorisme yang terjadi saat ini, bila dengan mengacu pada teori intelijen, bisa jadi untuk mengalihkan perhatian dari apa yang selama ini dihadapi oleh kasus yang menimpa pemerintah, misalnya soal mafia pajak dan bocoran Wikileaks. Untuk mengalihkan perhatian itu maka dicari sesuatu yang bisa menimbulkan rasa penasaran dan kekhawatiran di pihak masyarakat. Dengan mengalihkan perhatian maka kasus-kasus yang menimpa pemerintah akan semakin meredup.

Dengan demikian ada dugaan bahwa aksi-aksi terorisme muncul karena by design, terorisme yang sudah diatur sedemikian rupa dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian terhadap isu-isu yang besar yang dihadapi oleh pemerintah. Para teroris atau orang yang dituduh teroris dibiarkan berkelana dan ketika 'dibutuhkan', mereka diburu, disergap, dan ditembak.

Selepas Bom JW Marriott dan Ritz Carlton tahun 2009, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar, saat itu, mengakui ledakan bom yang terjadi tidak terdeteksi oleh pihaknya. Lebih lanjut dia mengatakan peristiwa itu bisa saja terjadi di negara manapun termasuk di negara superpower.

Pantaskah seorang kepala BIN mengatakan demikian, apa saja kerja aparat penanggulangan teroris yang disebut telah melakukan berbagai latihan dan sudah berpengalaman dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Bahkan selepas Bom Bali I, polisi dan TNI sering melakukan latihan antiteror dan kerjasama penanggulangan antiteror dengan berbagai negara dan dengan biaya yang sangat besar. Misalnya saja kerjasama penanganan terorisme antara Indonesia dan Amerika Serikat yang dijalin sejak tahun 2005 sampai September 2008 dengan biaya bantuan Amerika Serikat sebesar 400.000 US$.

Oleh sebab itu di sini perlu kejujuran pemerintah dan aparat dalam masalah terorisme. Apakah benar maraknya terorisme ini murni dari gerakan terorisme dari pantauan intelijen sehingga mereka bisa menebar terornya dengan sesuka hati. Bila hal ini terjadi, berarti kerja aparat dan bantuan yang sudah diberikan oleh Amerika Serikat, Australia, dan negara lainnya, menjadi sia-sia. Ataukah terorisme yang marak kali ini merupakan upaya untuk mengalihkan isu atau untuk menambah citra jelek salah satu kelompok.

Pemerintahlah yang dalam hal ini bisa menjawabnya. Bila pemerinah tidak jujur dan serius dalam masalah terorisme, tentu hal ini selain akan menambah citra pemerintah yang tidak mampu bekerja, juga akan merugikan masyarakat. Contoh gampangnya, akibat terorisme, pembinaan sepakbola nasional menjadi terganggu. Ledakan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriott, beberapa waktu yang lalu, membatalkan kunjungan MU FC ke Jakarta. Demikian pula maraknya bom buku, membatalkan kunjungan pemain Timnas Belanda Giovannie Van Bronckhorst yang hendak berkunjung ke Jakarta, Ambon, dan Surabaya, Indonesia.

Oleh sebab itu kita mengharap pemerintah lebih arif dan menggunakan logika yang panjang ketika dirinya dirundung masalah. Jangan karena untuk mengalihkan perhatian, dilakukan dengan cara-cara yang tidak hanya merugikan masyarakat, namun juga merugikan dirinya sendiri. Sejarah akan mencatat dalam era pemerintah ini, terorisme marak dan pemerintah tidak mampu memberantasnya.